topbella

Selasa, 22 November 2011

AKU MENANGIS 6 KALI UNTUK ADIKKU


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang
sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku
membajak tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai
seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.


Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya
membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan
sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?"
Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk
berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun
mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan
berkata,"Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai Beliau
kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas
ranjang batu bata kami dan memarahi,

"Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang,
hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di
masa mendatang? ...
Kamu layak dipukul sampai
mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"


Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam
pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia
tidak menitikkan air mata setetes pun.
Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai
menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya
sudah terjadi."


Aku masih selalu membenci diriku karena tidak
memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut
masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak
pernah akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun.
Aku berusia 11.



Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di
SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat
kabupaten.
Pada saat yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap
rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut,
"Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu
baik...hasil yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan
menghela nafas,"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa
membiayai keduanya sekaligus?"


Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan
ayah dan berkata,
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,
telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku
pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat
lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis
di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di
dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan
tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku
yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.


Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh
datang, adikku meninggalkan rumah dengan
beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang
yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping
ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya
akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."


Aku memegang kertas tersebut di atas tempat
tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran
sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17
tahun. Aku 20.


Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun,
dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku

akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
teman sekamarku masuk dan memberitahukan,
"Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar
sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan
pasir. Aku menanyakannya,
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman
sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan
mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?
Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi
mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku
semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,
"Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu
adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku
bagaimana pun penampilanmu..."


Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku,
dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi
saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi.
Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan
menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20.
Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih
di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari
seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak
waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum,
"Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat
luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang
kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
mukanya yang kurus, seratus jarum terasa
menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan mebalut lukanya.
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja

di lokasi konstruksi, batu-batu ber
jatuhan pada

kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan
tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir
deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23.
Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota.
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang
tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan,
sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu
harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga,
mengatakan,
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu
dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan
sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja
reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat
sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
"Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan
sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu
tidak mau mendengar kami sebelumnya?"


Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia
membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi
manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan
dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian
keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah:
"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia
berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi
seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara perayaan itu
bertanya kepadanya,

"Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
"Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada
dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya
berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu
dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu
dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama
saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima
kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,
di depan kerumunan perayaan ini, air mata
bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.





Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six

times"



" Friendship is the most priceless gift that can be given and To those who freely give love and kindness are always recipient of them as well



tTIGA SYUKUR SETIAP HARI =)


Tiga Syukur Setiap Hari
Sumber: Tiga Syukur Setiap Hari oleh Arvan Pradiansyah, direktur
pengelola Institute for Leadership & Life Management (ILM) dan
pengarang buku Life is Beautiful

Seorang wanita yang baru saja meninggal ternyata merindukan
kehidupan yang baru saja ditinggalkannya. Ia berharap
bisa ''mengunjungi'' kembali salah satu hari yang ''tidak penting''
yang pernah terjadi dalam hidupnya. Ketika harapannya dikabulkan, ia
menyadari betapa selama ini ia menjalani hidupnya tanpa rasa syukur,
seakan-akan semua itu sudah selayaknya menjadi miliknya.

Akhirnya kunjungannya itu menjadi beban berat yang tak
tertanggungkan olehnya. ''Saya tidak menyadari,'' katanya dengan
penuh sesal, ''Semua yang terjadi tak pernah kita sadari benar.
Selamat tinggal, rumahku. suami dan putri kesayanganku.... Ibu dan
ayah.... Selamat tinggal detak jam dinding dan bunga-bunga yang
indah di pekarangan. Dan makanan dan kopi. Dan baju-baju yang baru
diseterika dan air mandi hangat .... dan saat-saat tidur dan
terjaga. Oh hidup, kau terlalu mengagumkan hingga orang tak
menyadari betapa mengagumkannya engkau.''

Itulah salah satu adegan yang cukup menyentuh dalam sebuah drama
karya Thornton Wilder - seorang pengarang Amerika -- berjudul Our
Town. Wilder nampaknya ingin mengingatkan kita untuk senantiasa
menikmati hari dengan penuh rasa syukur. Setiap hari sebetulnya
adalah istimewa. Sayang, kita sering tak menyadarinya
karena ''mata'' kita tertutup. Melalui tulisan ini saya ingin
berbagi satu kiat untuk menikmati hidup yang indah. Saya
menyebutnya ''Tiga Syukur Setiap Hari.''

Kiat ini sangat sederhana dan dapat Anda terapkan mulai hari ini
juga. Menjelang tidur setiap malam, cobalah Anda cari tiga hal yang
pantas Anda syukuri hari ini sebagai rahmat dan anugerah dari Tuhan.
Tiga hal saja. Tidak sulit bukan?

Kalau kebetulan hari ini Anda mendapatkan berbagai ''kabar baik''
tentunya tak sulit melakukannya. Tapi, bagaimana kalau hari ini
berlalu dengan berbagai kesulitan bahkan musibah: anak Anda sakit,
dompet Anda hilang, Anda baru dimarahi atasan, mobil Anda ditabrak
orang, atau orang tua Anda dirawat di rumah sakit. Kalau demikian
apa yang harus kita syukuri?

Kalau pertanyaan itu yang Anda ajukan, nampaknya kita perlu memahami
tiga hal berikut. Pertama, bersyukur sebetulnya tidaklah hanya dapat
kita lakukan di saat senang, tetapi juga di saat susah. Kita perlu
menyadari bahwa setiap musibah selalu mengandung 'rahmat' yang
terselubung. Musibah adalah alat yang sangat ampuh untuk membuka
mata kita pada banyaknya kenikmatan yang telah kita lupakan.

Kedua, dalam menerima musibah kita perlu senantiasa bersyukur bahwa
hal itu tidaklah terlalu buruk. Falsafah Jawa mengenal
istilah ''Masih untung.'' Ini sebuah cara pandang yang sangat
spiritual. Belum lama ini anak saya yang berusia 3 tahun jatuh di
kamar mandi sehingga kepalanya harus dijahit di rumah sakit. Sudah
tentu kami sekeluarga sangat sedih dan prihatin. Tapi, malam itu
saya masih bisa bersyukur karena ternyata luka yang dialaminya tak
terlalu parah dan akan membaik dalam beberapa hari ke depan.

Paradigma ''Masih untung'' ini bukanlah sekadar untuk menghibur dan
menyenang-nyenangkan diri. Sikap ini didasari oleh keyakinan
mendalam bahwa Tuhan senantiasa melindungi kita. Bahwa rahmat selalu
ada di sekitar kita betapa pun kecilnya. Ini akan mengubah penolakan
menjadi penerimaan, kekacauan menjadi keteraturan, dan kekeruhan
menjadi kejernihan. Lebih dari itu hidup kita akan senantiasa
diliputi perasaan penuh. Apapun yang sudah kita miliki menjadi
cukup, bahkan berlebih.

Ketiga, kita seringkali tak dapat menemukan hal-hal yang patut
disyukuri karena kita sering merasa bahwa sesuatu itu sudah
semestinya terjadi. Padahal, segala sesuatu tidak terjadi begitu
saja. Semuanya karena rahmat Tuhan. Mungkin Anda tidak merasa
mendapatkan hal istimewa pada suatu hari. Tapi, bukankah hari itu
kita dan seluruh anggota keluarga sampai di rumah dengan selamat?
Bukankah kita masih bisa menikmati makanan yang lezat? Bukankah
jantung kita masih terus berdetak, nafas kita pun tak pernah
berhenti? Bukankah kita masih dapat melihat, mendengar, berjalan,
dan bekerja?

Hal-hal yang saya sebut di atas seringkali kita anggap sebagai
sesuatu yang remeh, dan terjadi begitu saja. Padahal, kenyataannya
tidak demikian. Coba Anda saksikan acara Tali Kasih yang dipandu
Dewi Hughes di sebuah televisi swasta. Anda akan sadar, bahkan
mungkin sambil meneteskan air mata menyaksikan betapa banyaknya
orang yang tak dapat menikmati hal-hal yang kita anggap remeh tadi.
Menyaksikan acara-acara seperti ini akan membuka mata hati kita akan
betapa banyaknya rahmat yang sering kita lupakan dalam hidup ini.

Pembaca yang budiman, mulai nanti malam cobalah kiat sederhana
ini. ''Tiga Syukur Setiap Hari'' akan mengubah cara pandang Anda
terhadap hidup. Dengan demikian Anda akan merasakan hidup yang
begitu indah, penuh rahmat, berkecukupan, dan berkelimpah-ruahan.

SEBUAH RENUNGAN :)


Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tdk membawa uang.

Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium
harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tdk mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata "Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?" " Ya, tetapi, aku tdk membawa uang" jawab Ana dengan malu-malu

"Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu" jawab si pemilik kedai. "Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu".

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana
segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang. "Adaapa nona?" Tanya si pemilik kedai. "tidak apa-apa" aku hanya terharu jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.

"Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi !,
tetapi,? ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah" "Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri" katanya kepada pemilik kedai

Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata "Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya
memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya?
Dan kau malah bertengkar dengannya"Ana, terhenyak mendengar hal tsb. "Mengapa aku tdk berpikir ttg hal tsb? Utk semangkuk bakmi dr org yg baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya. Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yg hrs diucapkan kpd ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah "Ana kau sudah pulang,cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tdk memakannya sekarang". Pada saat itu Ana tdk dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kpd org lain disekitar kita untuk suatu
pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kpd org yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

RENUNGAN:

BAGAIMANAPUN KITA TIDAK BOLEH MELUPAKAN JASA ORANG
TUA KITA. SERINGKALI KITA MENGANGGAP PENGORBANAN MEREKA MERUPAKAN SUATU PROSES ALAMI YANG BIASA SAJA; TETAPI KASIH DAN KEPEDULIAN ORANG TUA KITA ADALAH HADIAH PALING BERHARGA YANG DIBERIKAN KEPADA KITA SEJAK KITA LAHIR. PIKIRKANLAH HAL ITU?? APAKAH KITA MAU MENGHARGAI PENGORBANAN TANPA SYARAT DARI ORANG TUA KITA?

HARI INI DIA ESOK SIAPA??


Dari kejauhan Jack terus menekan kuat pedal gas kendaraannya. Ia tidak mau terlambat. Apalagi lampu merah di wilayah yang dilaluinya menyala cukup lama. Lampu lalu lintas berganti kuning. Sekitar tiga meter menjelang garis putih horisontal di jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang. Haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tidak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya, sambil terus melaju.

 PRIIIT!!! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Hey, itu kan Bob, teman semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega.
Ia melompat keluar dari dalam mobil sambil berkata: “Hai, Bob! Senang sekali ketemu kamu lagi!”. “Hai, Jack,” sapa Bob tanpa senyum., , , , ,
 “Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah. Hari ini dia ulang tahun, jadi dia dan anak-anak sudah menyiapkan pesta di rumah. Tentu aku tidak boleh terlambat dong,” kata Jack.
Bob berkata, “Saya mengerti. Tapi sebenarnya saya sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.” Jack mulai gelisah. Ia harus ganti strategi. “Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat tadi lampu kuning masih menyala kok.” Aha.. terkadang berdusta sedikit tentu bisa memperlancar situasi.
”Jack, kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu,” ujar Bob dingin. Dengan wajah ketus, Jack menyerahkan SIM-nya ke Bob lalu masuk ke dalam mobilnya dan menutup kaca jendela. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya.
Tak lama berselang, Bob muncul dan mengetuk kaca mobil Jack. Jack yang kadung kesal dan marah hanya membuka kaca jendela sedikit. Ujarnya mengumpat di dalam hati, “Ah, masa lima senti sudah cukup untuk memasukkan surat tilang?”
Sesudah Jack menerima surat tilang itu dia langsung menekan kembali pedal gas, memacu mobilnya dan cepat berlalu dari tempat tersebut. Tanpa berkata-kata Bob pun kembali ke posnya.
Setelah agak jauh dari tempat kejadian, Jack hendak memasukkan SIM-nya ke dompet. Saat itu ia terkaget-kaget setelah melihat selembar surat tapi bukan surat tilang. “Surat apa ini? Ini bukan surat tilang! Kenapa ia tidak memberiku surat tilang?” tanya Jack. Seketika itu juga ia langsung meminggirkan mobilnya dan membaca surat dari Bob tadi.
Begini isi surat tersebut:
Halo, Jack. Tahukah kamu aku mempunyai seorang anak perempuan. Anakku satu-satunya. Ia sangat cantik dan lincah. Aku dan istriku sangat menyayanginya. Sayang, ia sudah meninggal karena tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah, saat ia melintas bersama ibunya di zebracross.
Anakku langsung meninggal di tempat. Istriku sampai saat ini mengidap depresi hebat. Pengemudi yang sembrono tadi hanya dihukum penjara selama tiga bulan saja. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi.
Sedangkan aku? Aku kehilangan malaikat kecil kesayanganku. Aku dan istriku masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengaruniai seorang anak lagi, agar dapat kami peluk. Tapi, kondisi istriku tidak memungkinkan.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Oh.. betapa sulitnya! Begitu juga kali ini.
Maafkan aku, Jack. Doakan agar permohonan kami mempunyai anak terkabulkan.
Berhati-hatilah saat menyetir.
Dari temanmu,
Bob
Jack kaget sekali saat ia membaca surat Bob. Ia langsung memutar balik mobilnya dan pergi ke pos jaga Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos itu, entah ke mana.
Sepanjang jalan pulang Jack mengemudi dengan hati-hati dan ia berjanji, dalam dirinya untuk menahan diri agar tidak ngebut dan menyetir ugal-ugalan. Kali ini Ia teringat akan anak-anaknya. 
Seorang gadis kecil, di tepi jalan..
Rambut melambai, berpita merah..
Senandung kecil ..la la la.. di bibirnya..
Dalam langkah kecil, seirama kakinya..
Satu perempatan jalan, dilewat sudah..
Si gadis kecil masih berjalan riang..
Di antara roda-roda, yang berputar di jalan..
Setengah batu lagi, sampailah di rumah..
Ketika si gadis melintas di jalan..
Matanya yang manis, mendadak menyala..
Sebuah kereta mesin yang ganas..
Menerjang dan... melindasnya..
Gadis kecil terkapar di aspal panas..
Tinggal menatap ibu bapa, memungutnya..
Sebuah permata keluarga hilang sudah..
Hari ini dia, esok lagi siapa.........
Hari ini dia, esok lagi siapa.........
Hari ini dia, esok lagi siapa......... 
Memang, tak selamanya orang harus mengerti kita. Bisa jadi kesukaan kita adalah kedukaan orang lain. Hidup ini sangat berharga, karena itu jalanilah dengan penuh hati-hati dan saling menghargai.

4 BIDADARI ITU TAK SENDIRI


Matanya bulat, cantik dan jernih seolah tak berdosa. Tawanya pun selalu lepas, sehingga menambah keceriaan di wajah. Usianya memang telah dewasa, namun ia berprilaku bagaikan balita yang polos dan tak banyak meminta. Kelembutan yang terpancar dari jiwa, juga telah menghapus kesempatannya untuk berbuat nakal dan dosa.
Ia adikku, Dian namanya. Limpahan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjadikan dirinya ditakdirkan terlahir dengan keterbelakangan mental. Chromosome 15 Trisomy Syndrome yang diderita membuatnya bagaikan seorang kanak-kanak. Namun, tak pernah sekalipun ia terlihat menyesali nasibnya.
Dian memang anak istimewa. Selain cacat mental, menjelang akhir hayatnya ia juga menderita sakit ginjal, diabetes, kelainan jantung, lalu lumpuh dan isu. Bahkan beberapa hari sebelum maut menjemput, kebutaan pun merampas penglihatannya. Tangis ketakutan yang kekanak-kanakan, akan membuat siapapun yang mendengar giris hatinya.
"Ma... ma... aku takut, gelap ma. Mama di sini sama aku ya ma," terdengar rengekannya yang pernah membuat air mata mamaku tumpah. Beliau lalu mengajak Dian berdzikir dan membaca do'a-do'a.
Apa yang diderita Dian pernah membuatku dan saudara-saudara yang lain berburuk sangka kepada-Nya, "Ya Allah, mengapa Engkau timpakan penderitaan sepedih ini kepada adik kami?" Pertanyaan itu sering kali menyeruak, dan bertubi-tubi menghujani hati ini.
Kami pun pernah sedih karena memikirkan Dian yang tak pernah hidup normal seperti layaknya saudara-saudaranya yang lain. Tumbuh dewasa, menikah,
lantas merasakan kebahagiaan berumah tangga. Namun, bukankah Allah Yang Maha Pencipta tentu lebih tahu segalanya. Mungkin IA hanya tersenyum bijaksana, menatap kesalahpahaman kami semua.
Dian memang cacat fisik dan mental, tapi tidak hatinya. Tubuh yang penuh tutulan obat merah danperban karena koreng bernanah, bahkan sebagian hidupnya yang harus dijalani dengan kursi roda, tak mampu menutupi keistimewaan yang ada pada dirinya.
Suatu peristiwa saat ia berusia 5 tahun, menampilkan sosok jiwanya yang begitu lembut. Ia tak pernah tega walaupun terhadap semut-semut yang mengerubungi piring nasinya. Ia hanya menjerit-jerit, "Ma... nyamut,
nyamut ma!" karena saat itu ia tidak bisa membedakan antara nyamuk dan semut.
Lalu aku yang saat itu mendengar tergopoh-gopoh menghampirinya, "Jangan menangis Dian, ini kan cuma semut. Pukul saja, ntar juga semutnya pergi." Lalu uusir semut-semut itu, dengan tepukan tangan di lantai teras depan rumah kami.
Allah Yang Maha Pengasih memang sangat mencintai Dian. Betapa tidak?
Kelahirannya disambut dengan penuh kebahagiaan, dan kematiannya di usia 30 tahun adalah peristiwa terindah yang pernah kudengar.
Ketika itu, menjelang malaikat maut hendak menjemput, mamaku meminta Dian untuk selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala sambil membelai-belai lembut epalanya, "Dian, nyebut ya sayang, ya Allah... gitu nak. Ya Allah... Allahu Akbar!"
Lalu mama membaca surah Yaa siin di pinggir tempat tidur, sedangkan bapak melakukan sholat Ashar, tak jauh dari sisi tempat tidur Dian.
Lidah Dian mulai sulit bergerak. Namun orangtuaku dengan tabah berusaha membimbingnya mengucapkan "Allahu Akbar, ya Allah." Hingga suatu saat, ketika mama membisikkan kalimat itu, Dian menggenggam tangannya dengan kuat dan bergumam lirih, "Aaaaaahhhhhh..."
Air bening pun bergulir dari sudut mata Dian yang telah buta. Mungkin sebagai isyarat permintaan maaf, dan mohon kerelaan karena ia sebentar lagi akan erpulang kepada Sang Pencipta.
"Pulanglah Dian ke haribaan Allah..." kata mama dengan tabah di sela isakan tangisan. Lalu dengan tenang Dian meninggalkan kami semua dengan hembusan nafas terakhirnya.
Di saat penguburan, mama mengecup telapak tangannya sendiri kemudian melambai ke pusara Dian. "Selamat jalan, bidadari kecilku. Tunggu mama di sana ya, nak," katanya seraya menatap lubang peristirahatan terakhir Dian yang mulai ditutupi tanah merah oleh para sanak saudara dan sahabat.
Adikku Dian memang benar-benar anak istimewa, bahkan teristimewa di antara saudara-saudaranya. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengirim bapak untuk pulang menyertai Dian, tak lama setelah kepergiannya. Mungkin sebagai jawaban kepada bapak yang memang selalu merindukan anak istimewanya.
Sekarang bidadari kecil kami tak perlu takut sendirian, karena bapak telah berada di sana untuk menemaninya.
Dian, adikku tersayang... Jangan takut untuk kembali kepada Allah ya sayang.
Engkau tahu, engkau tak sendirian. Mama pun selalu berkata, engkau tak akan pernah sendirian, karena do'a dan segenap cinta kami selalu bersama dirimu, adikku tercinta.
Kembali kepada Allah adalah sesuatu yang indah. Bahkan teramat indah dari apa yang mungkin pernah engkau bayangkan. Selamat jalan sayang, selamat tinggal adikku yang teristimewa. Engkau memang bidadari kecil yang tak pernah sendirian.
WaLlahua'lam bi shawab.

Mengenai Saya